Penggolongan Cidera Berdasar KepMen 555

Blog Mas Dory - Penggolongan cidera akibat kecelakaan tambang berdasarkan pasal 40 beserta pasal 41 tentang ketentuan melapor berdasarkan KepMen no 555 K/26/MPE/1995. Setelah beberapa waktu yang lalu saya berbagi informasi tentang 5 kategori suatu kecelakaan bisa disebut sebagai kecelakaan tambang berdasarkan pasal 39 KepMen no 555 K/26/MPE/1995 bagian kesepuluh tentang kecelakaan tambang dan kejadian berbahaya. Sekarang saya lanjutkan dengan berbagi informasi tentang ketentuan melapor dan penggolongan cidera yang diakibatkan oleh kecelakaan tambang tersebut.

Baca Juga: 5 Kriteria kecelakaan tambang berdasarkan pasal 39 tentang kecelakaan tambang dan kejadian berbahaya KepMen no 555 K/26/MPE/1995 disini.

Menurut saya, informasi ini penting untuk diketahui oleh pengawas, khususnya diri saya pribadi, karena setiap kejadian kecelakaan yang terjadi di tambang harus segera dicatat, dilaporkan, dan digolongkan. Membuat dan menandatangani laporan dari setiap inspeksi, atau kejadian lain seperti kecelakaan tambang merupakan tugas dan kewajiban seorang pengawas.

Baca Juga: Kewajiban pengawas operasional dan pengawas teknik berdasarkan pasal 12 dan pasal 13 KepMen no 555 K/26/MPE/1995 beserta pasal pendukung lainnya disini.

Gambar Insident 2 Dumptruck | Blog Mas Dory

Beberapa tujuan yang saya ketahui kenapa setiap kejadian kecelakaan harus dilaporkan adalah agar kita bisa segera dicari penyebab dari kecelakaan tersebut. Jika penyebab kecelakaan sudah diketahui, tindakan perbaikan seperti apa yang dapat diambil agar kecelakaan serupa tidak terjadi lagi dikemudian hari. Jika dilihat dari sisi perusahaan, setiap kejadian kecelakaan yang dilaporkan tersebut akan berpengaruh terhadap citra dan nama baik perusahaan itu di mata pemerintah dan consumer. Hal ini tentu membuat perusahaan tersebut harus lebih meningkatkan lagi standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di area kerja nya.

Ketentuan Melapor.
Sebelum membahas penggolongan cidera akibat kecelakaan tambang menurut KepMen no 555 K/26/MPE/1995 pasal 40, ada baiknya jika kita memahami ketentuan melaporkan suatu kecelakaan tambang. Hal pertama yang harus diperhatikan adalah kondisi dari korban kecelakaan tersebut. Seringan apapun cidera yang dialami korban kecelakaan, sudah seharusnya korban tersebut mendapat Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan dan sesegera mungkin dibawa ke ruang perawatan medis baik itu ruang perawatan medis yang disediakan oleh perusahaan pertambangan tersebut, atau di bawa ke rumah sakit terdekat.

Tindakan ini dilakukan untuk menghindari cidera lebih parah yang mungkin dialami oleh korban jika tidak segera dilakukan pertolongan pertama pada kecelakaan. Disamping itu hasil dari tim medis bisa menentukan termasuk dalam golongan cidera seperti apa cidera yang dialami oleh korban, apakah cidera ringan, cidera berat, atau bahkan fatality (meninggal). Jika cidera yang dialami korban masuk dalam golongan cidera berat atau fatality, maka Kepala Teknik Tambang harus segara memberitahukan kejadian kecelakaan tambang tersebut kepada KAPIT (Kepala Pelaksana Inspeksi Tambang) untuk dilakukan investigasi lebih mendalam.

Hal tersebut diatas dilakukan sesuai dengan pasal 41 tentang ketentuan melapor KepMen no 555 K/26/MPE/1995 yang berbunyi:

Pasal 41
Ketentuan Melapor

(1) Pekerja tambang yang cidera akibat kecelakaan tambang yang bagaimanapun ringannya harus dilaporkan ke ruang Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan atau tempat Perawatan Kesehatan untuk diperiksa atau diobati sebelum meninggalkan pekerjaan.

(2) Laporan kecelakaan dan pengobatan dimaksud dalam ayat (1), harus dicatat dalam buku yang disediakan khusus untuk itu.

(3) Apabila terjadi kecelakaan berakibat cidera berat atau mati Kepala Teknik Tambang harus segera mungkin memberitahukan kepada Kepala Pelaksana Inspeksi Tambang.


Penggolongan Cidera Akibat Kecelakaan Tambang.
Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa cidera akibat kecelakaan tambang harus dicatat dan digolongkan. Berikut ini adalah KepMen no 555 K/26/MPE/1995 pasal 40 tentang Penggolongan Cidera Akibat Kecelakaan Tambang:

Pasal 40
Penggolongan Cidera
Akibat Kecelakaan Tambang

Cidera akibat kecelakaan tambang harus dicatat dan digolongkan dalam kategori sebagai berikut:

a. Cidera Ringan
Cidera akibat kecelakaan tambang yang menyebabkan pekerja tambang tidak mampu melakukan tugas semula lebih dari 1 hari dan kurang dari 3 minggu, termasuk hari minggu dan hari libur,

b. Cidera Berat
1) Cidera akibat kecelakaan tambang yang menyebabkan pekerja tambang tidak mampu melakukan tugas semula selama lebih dari 3 minggu termasuk hari minggu dan hari libur,

2) Cidera akibat kecelakaan tambang yang menyebabkan pekerja tambang cacat tetap (invalid) yang tidak mampu menjalankan tugas semula dan

3) Cidera akibat kecelakaan tambang tidak tergantung dari lamanya pekerja tambang tidak mampu melaksanakan tugas semula, tetapi mengalami seperti salah satu hal dibawah ini:

a) Keretakan tengkorak kepala, tulang punggung, pinggul, lengan bawah, lengan atas, paha atau kaki;

b) Pendarahan di dalam, atau pingsan disebabkan kekurangan oksigen;

c) Luka berat atau luka terbuka/terkoyak yang dapat mengakibatkan ketidakmampuan dan

d) Persendian yang lepas dimana sebelumnya tidak pernah terjadi;

e) Mati.
Kecelakaan tambang yang mengakibatkan pekerja tambang mati dalam waktu 24 jam terhitung dari waktu terjadinya kecelakaan tersebut.

Pemahaman saya dari pasal 40 diatas, penggolongan cidera akibat kecelakaan tambang bisa ditentukan dari beberapa hal:

a. Cidera ringan.
Untuk cidera ringan adalah luka yang mengakibatkan korban tidak dapat melakukan aktifitas dan tugasnya selama kurun waktu 1 hari sampai 21 hari (termasuk hari minggu dan hari off korban tersebut) terhitung sejak kejadian kecelakaan. Luka yang masuk dalam kategori cidera ringan ini adalah semua jenis luka atau kondisi yang tidak disebutkan dalam ayat b (cidera berat) diatas.

b. Cidera Berat.
Cidera berat terbagi menurut beberapa kategori:

b. 1. Menurut lama tidaknya korban tidak bisa melaksanakan tugasnya seperti biasanya. Yang termasuk dalam cidera berat adalah luka yang mengakibatkan korban tidak bisa bekerja atau beraktifitas seperti sedia kala selama lebih dari 21 hari termasuk hari minggu, hari libur, dan hari off korban tersebut terhitung sejak kejadian kecelakaan.

b. 2. Menurut tingkat keparahan dan dampak luka permanen (cacat seumur hidup) yang berakibat korban tidak mampu melaksanakan tugas seperti sedia kala. Contoh cidera berat yang masuk kategori ini seperti korban mengalami kebutaan, tuli (tidak dapat mendengar), kehilangan sebagian anggota tubuh seperti kaki, tangan, dsb.

b . 3. Menurut spesifikasi luka dan kondisi yang dialami korban kecelakaan. Kategori cidera ini tidak tergantung dari lama tidaknya korban bisa beraktifitas dan bertugas kembali, namun lebih kepada jenis luka yang mengancam nyawa dari korban nya. Walaupun korban bisa bekerja kembali dalam kurun waktu kurang dari 21 hari sejak kejadian kecelakaan, namun jika korban mengalami jenis dan kondisi luka seperti ini, maka tetap di kategorikan sebagai cidera berat, bukan cidera ringan.

Satu contoh korban mengalami pingsan karena kekurangan oksigen saat bekerja melakukan pengelasan di dalam tangki (bekerja dalam ruang terbatas), maka kejadian pingsan nya korban tersebut dikategorikan sebagai cidera berat walaupun korban bisa beraktifitas dan bekerja kembali dalam kurun waktu kurang dari 21 hari. Sebab kejadian pingsan nya korban lebih mengancam nyawa korban tersebut. Di samping itu, perlu dilakukan pemeriksaan oleh tim medis apakah terdapat kerusakan atau gangguan fungsi sel-sel otak akibat dari kekurangan oksigen saat kejadian tersebut.

Untuk penjelasan pasal 40 ayat (b. 3. d) diatas tentang persendian yang lepas dimana sebelumnya tidak pernah terjadi adalah kejadian kecelakaan yang menyebabkan dislokasi, lepasnya persendian bagian tubuh korban (tangan, kaki, dll) untuk pertama kalinya.

Contoh korban terjatuh dari kabin unit HD Caterpillar 973 saat hendak menaiki unit tersebut dan mengakibatkan dislokasi atau lepasnya persendian lutut dari tempat nya. Jika dislokasi sendi lutut korban tersebut adalah pertama kalinya bagi korban (belum pernah terjadi sebelumnya), maka kejadian kecelakaan tersebut dikategorikan sebagai cidera berat.

Namun jika korban pernah mengalami lepas sendi lutut sebelumnya, maka cidera yang dialami tersebut tidak di sebut sebagai cidera berat. Cidera tersebut akan dikategorikan sebagai cidera berat jika dalam kurun waktu lebih dari 21 hari sejak kejadian, korban tidak dapat melakukan tugas nya seperti biasa. Dalam hal ini, bukan lepasnya persendian (dislokasi) yang membuat suatu cidera di sebut sebagai cidera berat, namun lebih kepada lamanya waktu (lebih dari 21 hari) sesuai dengan ayat (b. 1.) di atas.

Untuk penjelasan pasal 40 ayat (b. 3. e) tentang "mati" adalah kejadian kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dalam kurun waktu kurang dari sama dengan 24 jam terhitung sejak kejadian kecelakaan dan dibuktikan dari hasil visum yang dikeluarkan oleh dokter / pihak rumah sakit.

Demikian pemahaman saya tentang penggolongan cidera akibat kecelakaan tambang berdasarkan pasal 40 KepMen no 555 K/26/MPE/1995 beserta pasal 41 tentang ketentuan melapor. Mohon maaf atas segala kekurangan. Jika anda adalah orang yang ahli di bidang pertambangan dan kebetulan membaca tulisan saya yang masih pemula di dunia pertambangan ini, mohon jangan ragu-ragu untuk membagikan ilmu anda dengan berkomentar di bawah ini. Harapan saya semoga informasi ini bisa bermanfaat buat yang membutuhkan. Sekian dan terima kasih.

Sumber informasi dan rujukan: KepMen no 555 K/26/MPE/1995 pasal 40 tentang penggolongan cidera akibat kecelakaan tambang dan pasal 41 tentang ketentuan melapor.
Reviewer: Dory Saputro
on: 1/31/2015, Rating: 5
ItemReviewed: Penggolongan Cidera Berdasar KepMen 555
Descripton: Blog Mas Dory - Penggolongan cidera akibat kecelakaan tambang berdasarkan pasal 40 KepMen no 555 K/26/MPE/1995 beserta pasal 41 tentang ketentuan melapor.